Menolak Intoleransi, Merawat Indonesia: Tantangan bagi Media (2)
Tantangan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia semakin besar. Celah intoleransi dan propaganda politik atas nama agama semakin menganga. Bagaimana media seharusnya?
Berikut ini orasi budaya Karlina Supelli dalam resepsi Ultah ke-23 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 7 Agustus 2017. Karlina adalah aktivis kemanusiaan dan pengajar tetap di Sekolah Tigggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
(Bagian 2):
Tidaklah perlu saya mengulang gejala yang kita ketahui bersama menyangkut strategi komunikasi dan teknik propaganda kelompok intoleran yang kian efektif melalui teknologi digital. Sebagai ringkasan, dapatlah kita menunjuk tiga lapis kepentingan kelompok intoleran dalam memanfaatkan teknologi digital: 1) membangun panggung dramatik sebagai sarana simbolik bagi perang melawan kedurjanaan dunia; 2) menggalang kekuatan fisik dan material; 3) perekrutan dan pengorganisasian.
Pertanyaannya, bagaimana media, teman-teman jurnalis, menanggapi permasalahan ini?
Pertama-tama, kita menyadari bahwa internet membawa perubahan besar pada hubungan antara produsen dan konsumen berita. Karena setiap orang yang punya akses ke internet dapat menjadi produsen dan penyebar informasi, pengertian sumber berita pun berubah. Setiap orang dapat menjadi pewarta warga [BBC menerima lebih dari seribu foto, empat ribu pesan singkat dan duapuluh ribu surat elektronik hanya dalam rentang enam jam sesudah pengeboman London 7 Juli 2005].
Pewarta warga menjadi sangat populer karena masih banyak orang yang menjadi konsumen informasi berdasarkan kesaksian atau rekomendasi dari orang yang dikenal, dan bukan atas tilikan objektif atas isinya. Rekomendasi itu sekarang dengan cepat beredar melalui terusan pesan grup terhubung.
Di tengah tantangan itu, media profesional bertarung keras dalam dinamika budaya digital yang ditandai dengan tegangan antara kecepatan dan kedalaman. Setiap detik informasi baru mengalir. Berita kematian Michael Jackson pecah pertama kali melalui Twitter, mendahului jaringan pers terkemuka.
Kedua, dan ini adalah masalah yang serius. Sejak beberapa tahun lalu muncul perdebatan akan dampak penyaringan yang digunakan oleh mesin pencari dan media sosial tertentu di internet. Penyaringan ini mempersempit keragaman hasil pencarian sesuai sejarah kegiatan pengguna. Eli Pariser menyebutnya filter bubble; Alexander Zwissler menamakannya confirmation bias. Sistem penyaring ini bertindak sebagai kurator informasi berdasarkan dugaan tentang apa yang kita suka dan tidak suka, apa yang kita anggap relevan dan tidak relevan, menurut klik-klik kita sebelumnya.
Kendati efeknya masih terus dikaji, algoritma penyaringan membentuk selubung maya yang diam-diam mengisolasi pengguna dari pandangan-pandangan yang berbeda. Sistem itu sebetulnya sekadar memberi rekomendasi. Meski demikian, ada risiko orang yang fanatik menjadi semakin fanatik karena terus menerus terpapar pada informasi serumpun. Lebih parah lagi, kabar kelakar, berita palsu, dan berita rekayasa beredar jauh lebih cepat dan luas ketimbang kabar burung pada zaman hanya ada media cetak.
Ketiga, konsekuensi teknologi digital terhadap cara pikir dan rasa-merasa jauh melampaui dampaknya terhadap perubahan cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Teknologi digital menghadirkan sebuah antropologi baru. Lugasnya, citra baru manusia. Para futurolog meramalkan hadirnya pascamanusia. Akan tetapi, siapakah sang pascamanusia? Imajinasi dan fantasi apa yang menggerakkan hasrat, emosi, dan motivasinya?
***
Menyimak efektivitas dunia digital dalam membangkitkan aneka hasrat dalam diri pengguna, betapa nyata kebutuhan masyarakat akan jurnalisme yang setia kepada asas-asas jurnalistik. AJI dengan tegas menyatakan keyakinannya bahwa “pers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membangun kultur pers yang sehat”. Pada hemat saya, dengan budaya digital sekarang ini, pers profesional punya peran lebih mendasar. Pers profesional merupakan prasyarat yang tak dapat ditawar untuk membangun masyarakat melek informasi, melek berita dan melek pengetahuan.
Kita berterima kasih kepada pewarta warga. Kita menghormati jerih payah mereka. Karena itu, tanpa bermaksud mengecilkan peran pewarta warga, kita perlu mengakui dengan rendah hati perbedaannya dengan jurnalis profesional. Jurnalis profesional secara etis terikat untuk menghormati kebenaran dan independensinya. Jurnalis profesional diikat oleh kode etik untuk menimbang secara hati-hati konsekuensi dari apa yang diberitakan dan caranya memberitakan.
Godaan populisme dan kejar-kejaran informasi berdasarkan klik per detik kerap meloloskan sebagian besar elemen klasik jurnalistik, 5W + 1H. Persis karena itu, menulis berita bukan perkara mudah. Elemen-elemen itulah yang menjadikan jurnalis bukan sekadar penerus informasi dan pelapor kejadian. Ia meliput, mengolah dan menyajikan informasi dalam bentuk berita. Dengan elemen-elemen itu jurnalis menjelaskan mengapa peristiwa tertentu penting dan relevan, serta apa implikasi pemberitaannya bagi kehidupan orang banyak. Dengan elemen it uia membedakan fakta dari opini.
Kematangan pertimbangan semacam itulah yang membuat media pernah menunda publikasi pemberitaan suatu rencana operasi militer di Etiopia (1989) demi keselamatan belasan ribu warga, padahal para wartawan sudah mengetahui akan ada operasi militer tersebut.
Dengan elemen-elemen itu pula pers menggenggam kekuatan untuk ikut membangun masyarakat yang kritis daya pikirnya dan sehat tilikan-tilikannya. Dalam budaya digital, pers ditantang kekuatan persuasifnya agar pembaca tidak sekadar bergerombol mengikuti apa yang sedang viral, tetapi menimbang-nimbang mana yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi; mana yang merupakan informasi, mana yang misinformasi karena isinya tidak tepat, dan mana yang disinformasi alias kebohongan sengaja.
Dengan misi jurnalistiknya, pers tidak dapat acuh tak acuh dan bersikap toleran terhadap intoleransi. Toleransi memang paradoks, dan karena itu sering disalahpahami sehingga menjadi sasaran kritik kelompok intoleran. Toleransi tidak berarti kita harus menyetujui atau bersimpati kepada nilai-nilai, gagasan, dan praktik yang tidak kita setujui atau kita nilai salah. Maka, selain paradoks, toleransi juga memunculkan dilema. Bagaimana mungkin kita meminta seseorang menerima suatu argumen yang dalam pendapatnya tidak sahih, atau menerima nilai-nilai yang dalam keyakinannya tidak benar?
Persis di sinilah terletak makna toleransi. Kita tidak diminta menerima atau menyetujui. Kita diminta mengakui dan menghormati hak seseorang atau kelompok untuk menganut dan mengemukakan nilai-nilai yang tidak kita setujui. Toleransi tidak menghalangi kritik dan konflik, tetapi ada batas sejauh mana konflik dapat berlanjut. Kita tidak dapat mentoleransi yang tidak toleran.
Toleransi adalah kesanggupan menahan diri karena kita mengakui bahwa orang tidak kehilangan martabatnya hanya karena ia meyakini dan mengemukakan sesuatu yang kita anggap salah. Sikap toleran juga dibangun dari kesadaran bahwa kita bisa salah. Cukup pasti, mereka yang intoleran adalah kaum pongah yang memutlakkan kebenaran keyakinannya. Ia menyetarakan dirinya dengan Tuhan karena mengklaim ia tahu persis apa yang Tuhan mau. Mereka adalah orang-orang pengecut yang takut menghadapi kemungkinan bahwa pihak yang berbeda boleh jadi benar. (bersambung)