Jember, bedadung.com -- Segala upaya dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk merekonstruksi mental dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Jepang. Hal ini disampaikan padakegiatan kuliah umum yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya secara daring dengan pembicara Susy Ong, Ph.D. dari Universitas Indonesia.
Susy Ong menjelaskan bahwa Birokrat Jepang percaya bahwa ketika mereka kalah pada Perang Dunia II disebabkan oleh mutu pendidikan yang kurang memadai.
Proses merekrontuksi mental perilaku melibatkan banyak elemen masyarakat di Jepang, birokrat, sosiolog, lembaga swadaya masyarakat dari level nasional sampai daerah-daerah, bahkan sampai pada tingkat ibu rumah tangga.
Reformasi Pendidikan
Maka dilakukan sebuah reformasi pendidikan. Jangan hanya hafal saja, tetapi latih untuk melakukan observasi sendiri dan berpikir mandiri – pendidikan harus melibatkan unsur 4H: hand, head, heart, health, yang diadopsi dari pola pendidikan di Amerika.
Pemerintah lokal melakukan berbagai penyuluhan dengan menggunakan poster-poster berisi ajakan kepada masyarakat Jepang untuk gemar menabung, ajakan untuk lebih menyayangi anak-anak, bahkan poster-poster yang berisi ajakan untuk menjaga kesehatan keluarga.
Para mantan birokrat, ahli home economics, editor majalah dan banyak elemen lain juga terlibat dalam penyuluhan untuk melakukan perbaikan pola hidup.
Truk dimodifikasi menjadi kitchen car, bergerak keliling dari kampung ke kampung mengajarkan cara memasak yang baik kepada para ibu.
Sosialisasi cara menjahit dan berpakaian sederhana dan keren, menata dapur, toilet dan desain ruang dalam rumah agar nyaman dan higienis (ventilasi dan pencahayaan lebih baik). Juga dilakukan sosialisasi kepada para ibu rumah tangga cara cermat dalam mengatur keuangan rumah tangga.
Kegiatan Mencatat
Gerakan lain sebagai upaya untuk mengangkat warga Jepang dari keterpurukan adalah kampanye mencatat (seikatsu kiroku undo/ life recording movement).
Para sosiolog dan pekerja sosial mendatangi desa terpencil dan pabrik padat karya, mengajarkan dan mengajak para petani miskin, termasuk kaum perempuan yang sebelumnya tidak berani menyatakan pendapat, dan para buruh, untuk mencatat kehidupan mereka sehari-hari; rasa sedih, dendam, frustrasi dsb semua dicatat, kemudian diskusikan dengan teman-temannya.
Mencatat Sebagai Bentuk Refleksi
Menurut Susy Ong, kampanye mencatat ini merupakan kesempatan untuk merenung (refleksi), apa sebenarnya masalah yang mereka hadapi (bukan cuma sekedar ‘saya merasa galau’); jika ada perasaan marah, tuliskan; ketika dibaca kembali beberapa waktu kemudian, mereka akan menyadari bahwa itu hanya perasaan sesaat dan ternyata masalahnya tidak seheboh seperti yang dia anggap waktu itu.
Proses mencatat dan sharing ini merupakan proses menuju kedewasaan jiwa. Melalui sharing dengan teman-teman, dengan mengetahui bahwa bukan saya saja yang menderita, maka perasaan akan menjadi lebih ringan. Dengan sharing pengalaman dan diskusi, mereka akan mendapat masukan ide agar menjadi lebih bijak dalam menghadapi permasalahan hidup.
Saat kuliah umum berakhir pada pukul 12.00, sekitar 350 peserta masih bertahan menyimak di aplikasi Zoom maupun di channel YouTube. Peserta menyatakan senang dan puas mengikuti acara tersebut.
Pengalaman negara Jepang Pasca-Perang Dunia II ini memberi inspirasi, bahwa perubahan sebuah negara tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun perlu sebuah upaya bersama. Perubahan perilaku hidup disiplin, toleransi dan bekerja keras harus menjadi semangat bersama untuk membangun bangsa.
Susy Ong adalah dosen Kajian Wilayah Jepang, Sekolah Kajian Strategik & Global UI yang telah menulis dua buku. Buku pertama berjudul Seikatsu Kaizen: Reformasi Pola Hidup Jepang, sedang buku kedua Shakai Kaizo: Seratus Tahun Reformasi Jepang.
Dalam kesempatan tersebut Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Prof. Dr. Akhmad Sofyan M.Hum. menyampaikan apresiasi kepada Tim Task Force Prodi Bahasa dan Kebudayaan Jepang yang telah berhasil menyelenggarakan dua kegiatan dalam kurun waktu dua tahun.
Kegiatan yang pertama, yakni pada tanggal 19 Maret 2019 Japan Festival yang merupakan kerjasama antara C-RiSSH dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember dengan ASJI (Asosiasi Studi Jepang di Indonesia) dan Konsulat Jendral Jepang di Surabaya, dihadiri oleh Konjen Jepang Tani Masaki.
“Kedua kegiatan ini merupakan semacam kick off kepada masyarakat bahwa FIB sedang mengupayakan lahirnya sebuah Prodi baru yaitu Prodi Bahasa dan Kebudayaan Jepang,” demikian jelas Edy Hariyadi, Ketua Panitia sekaligus Ketua Tim Taskforce. ()