Aku, Suti
Ini aku, Suti. Jangan tanya arti namaku, aku tak tahu. Itu pemberian bapak, empat puluh dua tahun yang lalu. Aku lahir tahun 1970, di sebuah desa pinggir hutan nan gersang: Slawu, Ponorogo.
Terlahir dalam keluarga miskin, masa kecilku tak seindah teman-teman sebayaku. Tiap hari bapak keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan apapun yang bisa diuangkan. Aku seringkali diajaknya ke hutan.
Aku belum sekolah ketika suatu hari bapak memutuskan ikut program transmigrasi ke Mesuji, Lampung Utara. Kami sekeluarga pindah ke Lampung. Tak hanya keluarga kami, keluarga paman juga. Tapi mereka hijrah ke Lampung Selatan. Aku tak tahu persisnya di mana.
Hidup kami terlunta, tak punya rumah tetap, berpindah dari ladang satu ke ladang lainnya. Praktis, aku hampir tak pernah mengenyam bangku sekolah. Bahkan tak sempat mengaji. Setahun kemudian keluarga kami baru bisa menetap. Akhirnya bapak memilih bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit. Aku pun masuk sekolah dasar. Usiaku lebih tua dari teman-teman sekelas.
Beberapa bulan kemudian ibuku meninggal. Aku masih duduk di kelas satu. Ibu sudah lama mengidap penyakit akut. Kemiskinan kami membuat ibu tak terobati. Kini bapak berperan ganda, sebagai kepala sekaligus ibu rumah tangga. Namun, tetap saja kami merasakan beban yang berat, kehilangan sosok seorang ibu.
O, ya, kami lima bersaudara. Kakak tertuaku perempuan. Fartin namanya. Seringkali dia mengambil peran sebagai ibu sekaligus kakak di keluarga kami. Kakak kedua laki-laki, Jarwan. Dia kerap membantu bapak bekerja di perkebunan. Aku nomor tiga. Dua adikku berturut-turut perempuan, Sukatmi dan Sri.
Aku tak lulus sekolah dasar. Bapak tak sanggup membiayai sekolahku, juga saudara-saudara lainnya. Aku tumbuh dewasa sebagai gadis rumahan, bermain dan bekerja membantu menopang kehidupan keluarga. Bapak juga semakin menua, mulai sering sakit-sakitan.
Begitulah, waktu terus berjalan. Hingga suatu hari, seorang pemuda datang melamarku. Dia berasal dari Jember. Aku hampir tak tahu asal-usul keluarganya. Yang kutahu, dia juga bekerja sebagai buruh perkebunan sawit, sama seperti bapak. Hanya, usianya jauh lebih muda dari bapak.
Bapak merestui. Kami menikah dan tinggal di rumah bedeng, tak jauh dari rumah bapak dan saudara-saudaraku. Aku ingat betul tahun pernikahanku, 1986. Hidup kami serba kekurangan, hanya mengandalkan jerih payah suami sebagai buruh. Aku juga bekerja serabutan untuk menopang kebutuhan keluarga.
Dua tahun usia pernikahan, 1988, kami dikaruniai anak pertama, perempuan. Kami memberinya nama Eny Setyowati. Bahagia bercampur sedih, bayi kami tak mendapat asupan gizi yang baik. Dua tahun kemudian, 1990, anak kedua lahir, juga perempuan. Ernawati, namanya. Nasib putri kedua kami tak lebih baik dari putri pertama. Syukurlah, mereka mampu bertahan meski sering sakit-sakitan.
Tahun 1996, empat tahun kemudian, anak ketiga lahir. Kali ini kami dikaruniai seorang putra. Suamiku memberi nama Edi Susanto. Betapa bahagianya suamiku punya anak laki-laki. Kelak, dia berharap, Edi bisa menggantikan bapaknya sebagai tulang punggung keluarga.
Usia Edi baru dua tahun ketika suatu hari suamiku menyampaikan keinginannya pulang ke Jember, sekedar menjenguk ibu-bapak dan saudara-saudaranya di sana. Bertahun-tahun suamiku tak tahu kabar kedua orang tuanya. Kami berembuk. Akhirnya, kami sekeluarga memutuskan untuk pergi ke Jember.
Masalah pun menghadang. Kami tak cukup punya uang buat biaya perjalanan sekaligus selama kami tinggal untuk sementara watu di Jember. Aku dan suamiku pun hutang sana-sini. Saudara dan tetangga yang bersimpati merelakan uangnya kami pinjam. Kami pun berangkat.
Perjalanan panjang dan melelahkan. Meski begitu, kami gembira bisa melihat keindahan alam di sepanjang jalan yang kami lewati. Apalagi saat melewati ibu kota Jakarta, betapa riangnya anak-anak. Mereka bisa melihat gedung-gedung bertingkat, menjulang tinggi. Lalu-lalang kendaraan dan lampu-lampu merkuri pada malam hari, sungguh pemandangan yang tak pernah mereka jumpai di Mesuji.
Kami tak sabar ingin segera bertemu keluarga di Jember. Anak-anak juga ingin bertemu kakek, nenek, paman, dan sepupu mereka. Dua hari dua malam kami menempuh perjalanan. Suamiku lebih banyak diam dan menghabiskan waktu untuk tidur. Aku sendiri terbebani pikiran bagaimana membayar hutang sekembalinya dari Jember nanti.
Sampai Bungurasih, konon terminal terbesar di Asia Tenggara, kami pindah bis jurusan Surabaya-Ambulu. Lebih lima jam waktu tempuh, anak-anak sudah tak sabar. Sampai di Ambulu, kami naik ojek ke Terate, tempat tinggal orang tua suamiku. Masih satu jam perjalanan lagi, kata suamiku. Kami harus menyeberangi sungai besar menggunakan gethek, melewati hutan jati dan perkebunan.
Hari sudah hampir gelap saat kami tiba. Letih perjalanan hilang begitu kami bertemu keluarga suamiku. Suka cita mereka menyambut kedatangan kami. Oleh-oleh durian, pisang, dan petai jadi rebutan. Satu persatu aku diperkenalkan pada keluarga suamiku: bapak-ibu, paman, dan sepupu.
Hingga larut malam, rumah mertuaku penuh sesak. Lampu ublik dan strongking sebagai penerangan. Aku lelah, ingin segera merebahkan badan dan menyusui Edi, anak ketiga kami. Tapi obrolan belum ada tanda-tanda usai. Eny dan Erna sudah mulai akrab dengan sepupu-sepupu mereka.
Memasuki hari ketiga, dalam sebuah obrolan keluarga, mertuaku menyampaikan harapannya agar kami pindah dari Lampung dan menetap di Terate. Lagian, dari berita-berita di televisi milik tetangga sebelah, di kota-kota besar mulai banyak aksi-aksi unjuk rasa. Mahasiswa dan buruh minta Presiden Suharto agar melepas jabatannya. Situasi tak aman.
Akhirnya suamiku memutuskan untuk tinggal di Terate. Aku pasrah. Dua hari kemudian, untuk mengirit biaya perjalanan, suamiku sendirian balik ke Mesuji untuk berpamitan dan mengurus kepindahan kami ke Terate. Aku menitipkan sedikit uang untuk bapak di Mesuji.
Sebulan lebih suamiku di Lampung, sambil menunggu rumah kami laku. Begitulah, rumah kami di Mesuji terpaksa dijual untuk melunasi hutang-hutang kami, sekedar pesangon untuk bapak, juga bekal untuk sementara waktu di Jember.
Suamiku tak kunjung datang, persediaan uangku habis. Aku bingung dari mana uang untuk makan dan jajan anak-anak. Kondisi ekonomi mertua dan saudara-saudara suamiku tak memungkinkan untuk sekedar numpang makan. Melihat orang-orang bekerja di perkebunan, akhirnya aku pun melamar pekerjaan sebagai buruh perkebunan.
Lamaranku diterima, dengan status buruh lepas. Baru dua minggu kemudian aku dapat upah. Namun, upah itu hampir sama sekali tak kuterima, harus dipotong bon belanja di koperasi. Tak apa. Aku bersyukur bisa bertahan hidup tanpa harus merepotkan saudara-saudaraku.
Suamiku datang. Rumah kami laku, katanya. Namun uang hasil penjualan hampir tak tersisa untuk melunasi hutang dan sekedar bekal untuk bapak di Mesuji. Suamiku juga diterima bekerja di perkebunan, sebagai buruh deres kelapa untuk dibuat gula merah. Bebanku terkurangi, kini ada suami yang menopang kebutuhan rumah tangga.
Anak-anak juga kudaftarkan di sekolah dasar di Terate. Mereka mulai akrab dengan alam perkebunan Terate. Kondisi di sini tak jauh beda dengan di Mesuji. Hanya, di sini lebih meudah mencari kayu bakar dan rumput untuk pakan ternak. Orang-orang banyak yang merawat ternak dengan sistem gado, bagi hasil dengan si empunya ternak. Suamiku juga ikut gado, merawat sapi milik orang Ambulu.
Kehidupan kami mulai tertata. Kami pun berpikir untuk membangun rumah sendiri. Atas ijin perkebunan, rumah pun berdiri, beberapa petak jaraknya dari rumah mertua, di atas lahan milik perkebunan. Seperti semua rumah lainnya, rumah kami berdinding anyaman bambu (gedhek), berlantai tanah. Tak ada perabotan berharga kecuali amben, juga dari bambu.
Empat tahun berlalu, anggota keluarga bertambah satu. Tahun 2002, anakku lahir. Seorang bayi perempuan, kami memberinya nama Eva. Beban hidup kami bertambah. Enam anggota keluarga dalam satu rumah gubuk kecil membuat kami harus hidup berhimpit. Ruang tamu juga berfungsi sebagai ruang keluarga, juga kamar tidur.
Sejak pindah ke Terate, aku tak tahu lagi kabar bapak dan saudara-saudaraku di Mesuji. Saat kutinggal pergi, bapakku sudah tua dan sakit-sakitan. Aku mengkhawatirkan keadaannya. Sudah punya anak berapakah Yu Fartin, Kang Jarwan, Sukatmi dan Sri? Bagaimana keadaan ponakanku, sudah bisa apa mereka gerangan?
Eva masih berusia empat tahun saat musibah itu datang. Aku masih ingat, pertengahan tahun 2006. Di siang hari yang terik, orang-orang ramai menuju rumah, membopong suamiku. Gusti, ada apa dengan suamiku? Dia memanggil-manggil namaku, sambil terus mengerang kesakitan.
Aku panik. Dua kaki suamiku mengalami patah tulang, terjatuh dari pohon kelapa. Tak berapa lama, saudara iparku dan beberapa tetangga membawanya ke sangkal putung di Jambe Arum, beberapa kilometer dari rumah. Aku menyertainya.
Patah tulang kaki suamiku cukup parah. Dia harus rawat inap di sangkal putung. Terpaksa aku tak pulang, menemani dan merawat suamiku. Anak-anak di rumah, tak kuperbolehkan ikut. Mereka membawakan makanan tiap harinya, juga pakaian ganti.
Sebulan lebih aku menemaninya. Aku bersyukur, suamiku diperbolehkan pulang. Total biaya pengobatan dan rawat inap empat juta lebih. Persisnya aku lupa. Pihak perkebunan memberikan santunan dua juta. Sisanya kami tanggung sendiri. Terpaksa satu-satunya sapi yang masih belum cukup umur kami jual. Laku dua juta. Tambahannya aku pinjam ke koperasi perkebunan.
Suamiku harus istirahat total. Dia belum pulih benar. Aku pun menjadi tulang punggung keluarga. Untunglah anak perempuanku yang tertua bisa sedikit meringankan beban ekonomi dengan bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan. Edi masih di sekolah dasar. Eva belum sekolah. Anak-anak butuh biaya sekolah, juga untuk jajan.
Beberapa bulan kemudian suamiku baru bisa kembali bekerja. Tak ada pekerjaan lain, tetap deres kelapa. Kedua kakinya tak sekuat sebelum mengalami patah tulang. Kerja tak maksimal, upah pun menurun. Tak apa, yang penting bisa meringankan beban hidup kami.
Musibah itu datang lagi, dua tahun kemudian. Suamiku kembali terjatuh dari pohon kelapa. Lagi-lagi teman sekerjanya membopongnya pulang. Dan, sekali lagi, mereka membawanya ke sangkal putung. Aku pun menyertainya. Namun, kali ini tak terlalu parah. Hanya memar cukup dalam di bagian tulang belakang dan pinggangnya.
Seharian kami di sangkal putung dan, esoknya, suamiku diperbolehkan di rawat di rumah. Kecelakaan itu menghabiskan biaya tiga ratus ribu. Upah setengah bulan kerja habis untuk membayar biaya pengobatan. Kami tak punya lagi ternak untuk dijual. Untuk kebutuhan dapur, seperti biasa, bon di koperasi.
Suamiku tak segera bisa kembali kerja. Butuh waktu untuk pemulihan. Bebanku semakin berat. Jumlah bon di koperasi bertambah besar. Setiap gajian, hampir tak ada sisa untuk kebutuhan sehari-hari. Aku mulai kelelahan. Namun, melihat suami dan anak-anakku, semangat untuk kerja tetap bertahan.
Anak-anak bertambah besar. Eny Setyowati menikah. Di tahun–tahun awal pernikahannya, mereka hidup bersama kami. Rumah semakin sesak. Namun, mereka kemudian kerja ke Brunei, menjadi buruh kelapa sawit. Kini, tiga anak yang tetap tinggal bersama kami.
Sejak kepergian Eny, suamiku mulai berubah. Belakangan sikapnya mulai tak ramah. Sering, dia marah-marah tanpa sebab. Aku tak habis pikir. Dia juga jarang di rumah. Aku tak tahu kemana. Waktuku tersita untuk kerja dan mengurus dapur, pun anak-anak.
Hingga pada suatu hari, suamiku tak pulang. Sehari, dua hari, dan seterusnya, dia tak juga pulang. Kami sekeluarga bingung, tak tahu kemana harus mencarinya. Aku mencari kabar berita ke sana-sini, tak jua ada kabar keberadaannya. Mertua dan saudara-saudara juga tak ada yang tahu.
Aku putus asa, pasrah. Anak-anak juga mulai tak menanyakan lagi keberadaan bapaknya. Suatu hari, seorang tetangga datang ke rumah. Dia menceritakan sempat bertemu suamiku di jalan di Ambulu. Hanya menyapa, tak sempat berbincang karena sedang bersalipan. Dia membonceng seorang perempuan, entah siapa.
Kabar itu pun menyebar. Beberapa saudara melacak keberadaan suamiku. Mereka berhasil menemuinya. Di rumah, mereka menyampaikan kabar itu. Tubuhku serasa tercabik, hatiku bagai disayat-sayat. Suamiku menikah lagi dengan perempuan asal Ambulu.
Tuhan, kuatkan aku, anak-anakku. Ya, anak-anakku. Karena mereka aku harus hidup. Perlahan, aku belajar untuk menerima kenyataan. Menjadi ibu sekaligus bapak dari anak-anaku. Hidup dirantau, di tengah orang-orang yang bukan saudaraku. Aku, perempuan, janda, di tanah rantau.
Tiga tahun anak-anak hidup tanpa seorang bapak. Edi, satu-satunya anak laki-lakiku, sudah dua tahun ini putus sekolah. Dia menjadi kuli angkut legen (air sulingan kelapa). Dia hanya bertahan setahun di bangku SMP. Eva, kini kelas empat SD. Ernawati, sudah setahun menikah dan tinggal bersama suaminya di rumah bedeng buruh tetap perkebunan.
Kini aku memiliki dua orang cucu. Hanya Intan, cucu dari Ernawati yang bisa kutimang, karena cucu pertama tinggal bersama ibunya di Brunei. Intan lucu sekali, membuatku terhibur saat dia main ke rumah. Aku, kini menjadi ibu sekaligus nenek. Dia tak pernah tahu siapa dan di mana kakeknya.
Namun, resahku tak jua sirna. Bukan, bukan karena suamiku. Tapi bapakku, orang yang merawat dan membesarkanku. Masih hidupkah dia? Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana saudara-saudara kandungku, paman, bibi, dan sepupu-sepupuku? Aku rindu bapakku, juga ingin ziarah ke makam ibuku.
Yang kuingat, bapak dan kakakku tinggal di SP6 E Labuan Batin, Mesuji. Perasaanku semakin tak tenang, saat tetangga bilang di Mesuji, tempat asalku, terjadi bentrok warga dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Beberapa orang tewas dalam bentrokan itu. Ya Tuhan, bagaimana keadaan mereka, bapak dan saudara-saudaraku?
Aku tak ada ongkos untuk sekedar menjenguk mereka. Bon di koperasi perkebunan entah kapan bisa tuntas. Anak-anak butuh makan, kami harus tetap bertahan hidup. Durhakakah aku, Tuhan? Hanya do'a, semoga bapak masih hidup dan sehat. Dan, jika memang masih hidup, semoga dia berpikir bahwa aku bahagia, bersama suami dan anak-anakku.
---------------------------------------------------